Jalan Ternal Pemilu dan Kesejahteraan 

Jalan Ternal Pemilu dan Kesejahteraan by adminon.Jalan Ternal Pemilu dan Kesejahteraan Banyuwangi, Kupasinfo.com – Kita semua rakyat Indonesia, telah mengikuti empat kali pemilu sejak masa transisi setelah orde baru diruntuhkan oleh gerakan reformasi , Perubahan politik telah terjadi secara drastis. Masyarakat Indonesia menyebut era yang jauh lebih demokratis ketimbang masa sebelumnya. Pemilu pasca reformasi telah berlangsung jauh lebih demokratis ketimbang pesta pemilihan umum pada masa Orde […]

Banyuwangi, Kupasinfo.com – Kita semua rakyat Indonesia, telah mengikuti empat kali pemilu sejak masa transisi setelah orde baru diruntuhkan oleh gerakan reformasi , Perubahan politik telah terjadi secara drastis. Masyarakat Indonesia menyebut era yang jauh lebih demokratis ketimbang masa sebelumnya. Pemilu pasca reformasi telah berlangsung jauh lebih demokratis ketimbang pesta pemilihan umum pada masa Orde Baru, yang secara teoretis sebagai permulaan instalasi demokrasi. Ditandai dengan meluapnya kebebasan, multipartai yang kompetitif terbukanya ruang-ruang publik, dan juga bangkitnya desentralisasi. 

Meskipun, perubahan yang terjadi masih menghadapi tantangan kerentanan demokrasi yang semakin mendekati akut. Meminjam kajiannya Larry Diamond, potret reformasi ini masih bergerak pada level pola (pattern) tata politik dan pemerintahan secara kosmetikal, bukan pada struktur (structure) sosial-politik secara transformatif menuju konsolidasi. Sejarah mencatat lain bahwa pola demokrasi yang dibuahkan oleh transisi yang tidak sempurna adalah demokrasi yang rentan (unconsolidated democracy). 

Fenomena yang tampak pada struktur elite, misalnya, tampak cerai-berai dan mengaburkan komitmen membangun masa depan Indonesia yang lebih baik. Elite lebih banyak saling bertarung memperebutkan kekuasaan ketimbang meletakkan kepemimpinan transformatif yang memperjuangkan perubahan nasib rakyat. Korupsi elite, baik di Jakarta maupun di daerah, adalah peristiwa makin merajalela dan bisa dibaca secara telanjang oleh masyarakat.

Para penguasa di semua level sebenarnya tidak mempunyai komitmen dan kapasitas yang memadai, tetapi mereka masih sangat dominatif mengedepankan paradigma kekuasaan, kewenangan dan kekayaan ketimbang paradigma reformasi, tanggungjawab, dan kerakyatan/ke-ummat-an. 

Partai politik, yang secara teoretis diyakini sebagai institusi demokrasi justru tampil sebagai “pembunuh” demokrasi. Organisasi kekuasaan ini tidak memainkan peran sebagai oposisi untuk perubahan, tetapi hanya melakukan obral janji, mobilisasi massa, dan dijadikan sebagai kendaraan politik para politisi yang saling berebut kekuasaan dan kekayaan.

Partai politik semestinya tampil sebagai pendukung otentik demokratisasi tapi justru menjadi bagian dari pemeliharaan status quo yang harus direformasi. Gerakan demokratisasi masyarakat sipil terus bergelora menentang pejabat bermasalah, sekaligus mendesakkan perubahan, tetapi gerakan itu, saat ini semakin rapuh dan mudah dilumpuhkan. Oleh para preman bayaran maupun paramiliter yang dipelihara oleh partai politik. 

Peta jalan demokrasi masih terhalang oleh kekuatan militer dan birokrasi. Meskipun terjadi pergeseran karakteristik, jika dulu militer adalah kekuatan represif dan penyangga utama otoritarianisme, lalu citra dan legitimasi militer memburuk di mata masyarakat. Demokratisasi tentu membutuhkan demiliterisasi, tetapi sayangnya proses ini tidak didukung oleh komitmen elite politik pada kontrol sipil atas militer. Para elite sipil justeru “berselingkuh dan memanfaatkan militer sebagai benteng pemeliharaan kekuasaan (status quo).

Hambatan demokratisasi di sektor birokrasi memang tidak seganas di sektor militer. Tetapi raksasa birokrasi yang tidak profesional justru menjadi beban yang sangat berat bagi negara dan masyarakat Indonesia. Birokrasi Indonesia masih menjadi institusi yang lebih banyak menghabiskan ketimbang menghasilkan. Sebagian peneliti masih menemukan bahwa birokrasi adalah penyumbang terbesar krisis finansial negara. sarang korupsi dan pencurian, pemandangan yang cukup ironis kalau negara menderita krisis tetapi para pengelolanya bisa hidup kaya dan mewah.

Kerentanan demokrasi tidak semata berada di sektor negara, tetapi juga menyeruak di sektor masyarakat. Secara horizontal kondisi multikultural masyarakat Indonesia lebih banyak menghadirkan konflik ketimbang pluralisme dan kohesivitas. Ruang publik memang menghadirkan wacana dan gerakan demokratisasi yang semarak, tetapi polarisasi ideologis dan kepentingan adalah fenomena yang jauh lebih menonjol. Gerakan demokratisasi yang didorong oleh aktor masyarakat sipil harus berhadapan dengan praktik-praktik kekerasan yang dimainkan oleh elemen masyarakat lainnya.

Pemilihan umum hampir selalu menjadi momentum baru bagi masyarakat, digaungkan sebagai kontrak sosial baru bagi perubahan serta melahirkan kepemimpinan baru yang lebih transformatif. Jika masyarakat terus terlena, maka proses electoral hanya akan menjadi arena pesta kekuasaan yang diperebutkan oleh elite politik. Peristiwa dan hasil pemilihan umum sebelumnya akan terulang kembali yang membuat jalan menuju demokrasi makin terseok-seok. wacana menguatkan kembali jalan menuju demokrasi Indonesia melalui kontrak sosial elite, institusionalisasi politik, pembaharuan kepartaian dan pemilihan umum, demiliterisasi, reformasi birokrasi, memperkuat desentralisasi, transformasi budaya politik, dan seterusnya, bukan sekedar fatamorgana.

Apakah agenda demokratisasi akan kita gadaikan dengan belas kasihan para elite ? ataukan kita-kita bersedia menggerakkan kekuatan masyarakat yang terorganisir secara kohesif, massif dan inklusif yang mampu mendobrak struktur kekuasaan oligarkhis. Mampukah menjadi kekuatan oposisi yang layak menemani menekan partai politik dan elite politik agar mereka mempunyai komitmen dan tanggungjawab konkret yang serius terhadap perubahan menuju Indonesia baru yang lebih demokratis. 

( Oleh : Emi Hidayati Dosen IAI Ibrahimy )

Author: 

Related Posts

Comments are closed.